Salahkah bila harapku terlalu lebih?
Pada jam menginjak pukul tiga sore saat langit jingga mulai
menyemburatkan cahayanya, tak ada yang bisa aku lakukan selain menatapmu yang
sedang bersembunyi di bawah pohon besar demi menghindari sinar mentari, dari kejauhan.
Hampir dua jam sejak kamu baru terduduk disana, memejamkan mata beberapa menit
disana, hingga berkonsentrasi mengerjakan tugas disana. Aku masih setia
menatapmu tanpa putus dari tempatku. Aku sudah lama tak melihat pemandangan
ini, pemandangan yang selama seribu empat puluh delapan jam tak terjamah olehku.
Tepat empat puluh empat hari yang lalu, sebelum kamu
menghilang dari pandangku selama seribu empat puluh delapan jam. Kamu
menghabiskan waktu liburanmu selama tiga hari bersamaku. Dimana tepat setelah
tiga hari itu, kamu tidak pernah muncul lagi. Kamu tidak tiba-tiba ada di depan
pagar rumahku lagi untuk menjemputku. Kamu tidak lagi minta aku menemanimu
makan seblak lagi. Kamu tidak lagi menungguku di bawah pohon teduh favoritmu
itu untuk pulang bersamaku. Kamu tidak lagi minta aku ajari matematika lagi.
kamu tidak mendengarkan ceritaku lagi. Kamu tidak lagi menjadi yang selalu ada.
Bahkan namamu tak pernah lagi muncul di pemberitahuan ponselku. Seolah hari itu
adalah hari terakhirmu membahagiakan aku, seolah hari itu sudah kamu rencanakan
dengan matang, kamu memaksa aku menonton film kesukaanku yang membosankan
bagimu juga kamu sengaja agar kamu bisa tertidur di bahuku untuk terakhir
kalinya, kan?
Ga, dengar, selama seribu empat puluh delapan jam tanpamu,
aku tidak pernah bisa dalam satu detik saja untuk tidak teringat kamu. Hingga
suatu hari, aku merasa jengah tengah memaksakan diri untuk melupakanmu sedangkan
hasilnya selalu nihil. Di perjalanan pulang kampus siang itu, aku sengaja
melewati jalan yang beberapa tempatnya pernah kita singgahi, satu-perstatu.
Entah mengapa hari itu aku ingin menghidupkan kenangan-kenangan manis kita.
Tapi, suasana hujan di tambah aku yang mendadak melankolis sejak kepergianmu
yang setiba-tiba itu, berhasil membuat kenangan-kenangan manis kita justru
semakin pahit, mengingat pemeran utamanya sudah tak disisi. Tapi, ya, memang,
namanya juga kenangan, sepahit-pahitnya di ingat, akan selalu menjadi penyebab
rindu nomor satu. Ya, aku rindu kamu, Ga. Aku rindu duduk di motormu, aku rindu
deg degan saat kamu ngebut, aku rindu caramu membuatku tertawa, aku rindu caramu
tertawa, aku rindu wajah seriusmu saat bercerita, aku rindu aroma khasmu, aku
rindu segalanya tentangmu.
Dan, saat rindu dari segala rinduku mencapai klimaknya,
tiba-tiba kamu ada di depan mataku, muncul di bawah pohon teduh favoritmu itu
dengan keadaan serba berantakan. Lihat, kamu semakin berbeda, rambutmu semakin
gondrong, lingkar matamu semakin menghitam, jakun di lehermu semakin terlihat
jelas. Kamu semakin kurus, itu gara-gara kamu terlalu serius belajar atau
tersiksa merindukan aku sih? Ah mungkin jawabannya ada di pilihan pertama. Aku
bisa lihat dari tumpukan buku di sampingmu yang satu bukunya setebal kamus. Aku
bisa lihat dari lingkaran hitam di matamu yang semakin menghitam juga mata yang
semakin sayu. Aku bisa lihat dari rambut gondrong yang tak sempat kamu urusi.
Aku bisa lihat dari tubuhmu yang semakin kurus. Aku tidak melihat kamu
merindukan aku, mencariku saja tidak pernah, mengirim pesan rindu apalagi. Tapi
omong-omong, Ga, jika di umpamakan, segala perubahan yang serba berantakan pada
fisikmu itu adalah bentuk nyata dari seberapa berantakannya hidupku saat
tanpamu, lho. Tapi kamu tidak akan tahu seperti aku yang bisa dengan mudah
tahu, meski di halangi jarak 5 meter. Kamu tidak akan tahu seberapa
berantakannya aku saat kamu tak di sisi. Kamu tidak akan tahu seberapa ‘andai’
yang aku andaikan saat berharap kepergian tiba-tibamu itu tak pernah terjadi.
Kamu tidak akan tahu seberapa sering aku terjebak oleh bayangmu. Kamu tidak
pernah tahu seberapa sakitnya mencoba melupakanmu tapi aku tak punya daya. Kamu
tidak pernah tahu seberapa sering aku menampar pipiku sendiri tiap pagi berharap
kepergianmu itu mimpi. Kamu tidak pernah tahu seberapa rindunya aku, seberapa banyak
rindu yang aku telan susah payah agar tidak menyiksa, tapi nyatanya merindu
tetap merindu, tetap menyembilukan dada.
Tapi setidaknya, detik ini juga aku harus banyak
berterimakasih kepada Tuhan,kan? Karena telah menjawab semua aduan rinduku dan
menghadiahi ‘kamu’ di hari saat rinduku membuncah sempurna. Biar kamu tahu,
dalam percakapanku dengan-Nya hanya rinduku padamu yang selalu aku adukan,
hanya namamu yang selalu aku sebutkan, dan hanya rasa sakit karenamu yang aku
keluhkan. Hari ini, Tuhan memberi pertanda lewat semilir angin yang berhembus
lumayan kencang, yang membuat mataku kelilipan debu hingga pandanganku teralih
ke arah lain. Dan setelah aku membuka mata, setelah selesai mengucek-ngucek
mataku yang kelilipan itu, kamu; sosok yang selama ini selalu menjadi penyebab
rindu nomor satuku, hadir, kembali menjadi objek utama mataku.
Setelah dua jam aku memandangimu, langit jingga Cirebon sore
itu semakin kelabu. Dan, beberapa detik kemudian hujan turun cukup deras. Kamu
yang sedang mengerjakan tugas itu langsung buru-buru menyelamatkan buku-bukumu
dan bergegas pergi dari pohon besar itu. Untuk kedua kalinya, aku kehilangan
kamu lagi. Jujur saja, dari pada hujan, aku lebih suka jarak 5 meter sebagai
penghalang kita. Bisa saja sih aku menorobos hujan demi mengejarmu lalu
langsung memelukmu. Tapi, bagaimana jika yang terjadi; kamu sudah tidak ingin
melihatku lagi, kamu tidak mau berdekatan denganku lagi, kamu sudah sepenuhnya
melupakan aku, kamu menghempas tubuhku di tengah hujan karena merasa jijik di
peluk wanita yang selalu berpakaian serba hitam ini. Dan, betapa bodohnya aku.
Dengan kacaunya tubuhku yang basah kuyup di gerai hujan, aku berdiri di
hadapmu, menatapmu dengan tatapan sendunya orang merindu. Dan, betapa
terkejutnya aku, ketika kamu langsung menggamit tanganku dan menariknya untuk
kamu bawa berteduh bersamamu.
Dengan wajah geram yang entah menafsirkan apa, kamu buru-buru
melepas jaket anti airmu, memberikannya padaku lantas pergi meninggalkanku
tanpa berkata apapun. Membiarkanku membeku sempurna di tempatku. Jahatnya kamu,
mengacuhkan gadis yang tengah berada di puncak rindunya, yang sudah menerobos
hujan demi mengikis rindu. Tapi bukannya mengikis rindu, malah menelan lagi
nelangsa merinduku sendirian.
Beberapa menit berlalu, derasnya hujan semakin menipis. Tapi
aku masih berdiri di tempatku, masih menunggu kamu kembali, masih berbaik hati tidak meninggalkanmu yang ‘barangkali’
akan kembali kesini. Dan, ya, tepat seribu empat puluh delapan detik atau sekitar
lima belas menit lebih, dengan tubuh tak kalah basah kuyupnya dengan aku, kamu
datang dengan dua buah cup berwarna coklat muda yang bisa ku tebak adalah kopi.
Lantas selama beberapa menit kita hanya saling adu menyeruput kopi, sampai pada
akhirnya hening melanda. Tak ada satupun kata yang kamu ucapkan, bahkan
memanggil namaku saja tidak. Bisa saja sih aku memberanikan diri mengadu
rinduku selama ini padamu. Tapi, bagaimana jika yang terjadi; kamu
mengacuhkanku, kamu hanya tersenyum, kamu hanya mengangguk, kamu hanya berkata
‘ohya?’ ‘masasih?’ atau yang lebih kejamnya lagi saat baru saja mulutku
menganga hendak bicara, kamu bangun dari dudukmu seperti drama-drama
menyesakkan yang pernah ku tonton. Hah inikah nelangsanya menjadi orang yang
merindu?
“kamu masih suka lagu itu?” katamu tiba-tiba saat tidak
sengaja melihat list lagu yang sedang aku putar via earphone di ponselku. Lagu Dreaming Alone yang di nyanyikan oleh Against The Current ft Taka One Ok Rock, itu
lagu favorit kita kan, Ga? Ahh tentu saja aku masih suka. Jika boleh sedikit
pamer, aku sudah mendengarkannya enam
ratus sembilan puluh tujuh kali sejak lagunya baru di rilis. Asal kamu tahu,
waktu selama seribu empat puluh delapan jam tanpamu itu, yang aku lakukan hanya
mendengarkan lagu itu demi merasakan kehadiranmu yang aku tahu hanya bayang
ilusi.
Lalu setelah aku menjawab seadanya dengan “masih ko”,
percakapan kita yang sempat mati, hidup kembali. Kamu bercerita tentang betapa
seringnya kamu mendengarkan lagu itu. Lalu setelah lagu, kamu beralih membahas
kesibukanmu yang sudah ku duga akan menjadi alasan nomor satumu menghilang.
Alasan klasik, Ga. Ah tapi persetan dengan alasan itu, sekarang yang terpenting
kamu sudah kembali, menyisihkan waktu berhargamu untuk aku yang tidak lebih
berharga dari apapun bagimu atau bahkan tak berharga sama sekali. Lalu setelah
kesibukanmu, kamu membahas tentang bagaimana kuliahku, bagaimana kabarku,
bagaimana hari-hari yang ku lewati tanpamu, apa saja film yang ku tonton
tanpamu dan masih banyak lagi yang kamu tanyakan. Seperti biasa, kita mulai
sama-sama berbagi kisah-kisah yang ujungnya pasti membuat tawa kita memecah
sempurna. Tapi, Ga, ada yang tidak biasa di matamu, ada yang tidak biasa di
senyummu, ada yang tidak biasa di gerak-gerikmu dan..... ada yang tidak biasa
di perasaanku.
Aku serius, caramu menatapku itu berbeda, kali ini lebih
meneduhkan dan dalam. Senyum dan gerak-gerikmu pun berbeda tidak seperti senyum
dan gerak-gerik aneh milik Arga yang aku kenal sebelum kamu menghilang itu.
Tapi, tentang perasaanku yang tak biasa ini mungkin karena memang rasa itu
semakin berkembang. Perasaan yang baru-baru ini ku sembunyikan dalam diam. Ya,
aku menyukaimu. Aku suka caramu yang tiba-tiba berdiri di depan pagar rumahku,
aku suka caramu menungguku, aku suka caramu geram, aku suka tawamu, senyummu,
matamu, aku suka caramu bercerita, aku suka wajah seriusmu, aku suka
gerak-gerik anehmu, aku suka segalanya tentangmu. Dan, namanya juga rasa, ia
akan terus berkembang, kan? Aku tahu kita lama bersahabat, tapi, memangnya
salah bila aku berharap kita lebih dari sahabat? Ini salahmu yang bersikap
terlalu baik padaku, ini salahmu yang selalu memberi perhatian khusus padaku,
ini salahmu yang selalu ada menemani setiap hariku.
Aku sudah bilang padamu kan? Jangan ‘terlalu’ baik padaku!
Orang yang tidak berperasaan saja akan mudah terpengaruh dengan kebaikan
berlebihan seseorang. Apalagi aku yang terlalu berperasaan.
Tapi,
Masa, iya, sih, berharap lebih dari sahabat saja salah?
Memangnya, itu terlalu lebih?
-Cirebon-
Komentar
Posting Komentar