Aku yang tak kau harapkan


Di hari saat jejak-jejak hujan masih sangat menyensasi, langit kelabu nan teduh masih bersikeras menyembunyikan mentari, angin sepoi masih setia melengkapi sejuknya suasana sehabis hujan. Resonansi piano lagi-lagi memekakan pendengaranku, menginterupsi fokusku yang sedang nikmat-nikmatnya dibuai aroma hujan. Langkahku membawaku ke tempat yang tidak jauh dari sumber suara, tempat persembunyian favoritku yang sudah tiga belas kali aku tempati untuk sekedar berdiri, menjadi penonton setia pianis yang memainkan lagu Yiruma tiap sepertiga sore, diam-diam. Pianis yang sedang menggelar pertunjukan ecek-ecek di tengah taman itu, aku mengenalnya. Jelas sekali itu kamu; pria berhidung mancung, berambut gondrong, mengenakan kemeja biru, bermata panda, yang bukan penggemar Yiruma tapi sekalinya menunjukkan keahlian berpianonya lewat instrumen-instrumen Yiruma, selalu membuatku tercenung sempurna. Namun, yang kali ini bukan karna pertunjukan berpianomu yang begitu mirip Yiruma, tapi, karna manik matamu menatapku dengan begitu kentara. Sembari masih berkutat pada tuts pianomu, kamu yang lingkar matanya masih betah menatapku tanpa berkedip itu, tersenyum. Aku ketahuan, tempat persembunyian dan menjadi penonton diam-diammu, terbongkar sudah.

Bisa saja sih, sebagai penonton aku berdiri di jajaran terdepan, toh aku bukan orang asing bagimu – kamu bukan orang asing bagiku, kita sudah berteman sepuluh tahun lamanya. Lalu untuk apa aku sembunyi? Tapi sederhana saja, itu karena aku tidak punya hak untuk berdiri di barisan terdepan. Yang berhak adalah dia yang sedari tadi bersorak paling semangat, yang berusaha menghilangkan gugupmu, yang selama tiga belas kali pertunjukanmu selalu menjadi penonton pertamamu, yang selalu menjadi penyebab senyummu merekah ditiap jeda permainan pianomu. Tapi aku ini temanmu, teman sepuluh tahunmu, yang sudah menemanimu selama sepuluh tahun. Aku juga punya hak, kan? Ya, aku punya hak yang bahkan lebih besar dari wanita-mu, namun, hak-ku tak pun ya kekuatan yang sebanding dengan hak-nya. Seorang teman kadang tak berarti lagi saat sepasang temannya sudah menemukan kebahagiaan yang lebih dari saat bersama temannya. Dan, inilah yang terjadi padaku.

Sekalipun aku yang lebih berhak, tetap saja, aku ini apa? Aku ini siapa? Aku hanya seorang teman curhatmu, teman yang selalu mengorbankan waktunya untuk sekedar menemanimu kemanapun kamu ingin, teman sepuluh tahunmu tapi kedudukannya sama dengan teman-teman wanitamu lainnya, teman yang tak ada spesial-spesialnya di matamu, teman yang selalu bersedia mendengar rengekanmu tentang wanita yang kamu cinta. Aku hanya seorang teman bagimu. Teman yang berharap di spesialkan, yang berharap hubungan teman kita berkembang, yang merasa sesak saat sehari saja tak bersamamu – jauh darimu, yang selalu kesal melihatmu bersama wanita lain, yang berani-beraninya menyimpan rasa padahal tau perasaan macam ini akan dengan mudah menghancurkan persahabatan. Aku menyayangimu lebih dari teman, tapi sekali lagi, aku hanya seorang teman, bagimu. Teman yang tak pernah kau harapkan.

Mungkin, kamu tidak akan membaca tulisan ini, tapi aku akan selalu menulis tentangmu, meski aku tahu, kamu tidak akan pernah tahu. Kamu tidak akan pernah tahu betapa tersiksanya memendam rasa. Kamu tidak akan pernah tahu seberapa bahagianya aku tiap di sampingmu. Kamu tidak akan pernah tahu sesaknya sehari saja jauh darimu. Kamu tidak akan pernah tahu betapa kesalnya aku saat melihat kamu bersamanya, mendengar suara wanita di ujung telfon saat kamu sedang bersamaku, apalagi saat mendengar ocehanmu tentang wanita pujaanmu. Aku ingin marah, meluapkan segala nelangsa mencintai diam-diamku padamu, tapi, sekali lagi, aku ini hanya teman, bukan siapa-siapa. Daripada kamu tahu lalu kamu menjauh, lebih baik terus seperti ini. Aku mencintaimu, kamu menyayangiku—sebagai teman.

Karena aku bahagia bisa menjadi temanmu. Teman sejak sepuluh tahun yang lalu, yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu. Disisimu, aku bisa merasakan kehangatan nan nyaman dibalik sikap dingin yang selalu kamu tunjukan kepada yang lain. Aku bisa menatap mata teduhmu dari dekat. Aku bisa tahu banyak tentangmu. Aku bahagia tiada tara. Tapi, yang aku benci dari setiap rasa bahagia adalah, selalu terselip kesedihan yang pilu di baliknya. Itu terjadi padaku. Di hari saat kita bersama, benar-benar membuatku berada di puncak bahagiaku. Kamu selalu menyelipkan secuil perhatianmu padaku, kamu selalu bersikap layaknya pria yang sangat menghormati wanita, kamu selalu melakukan hal konyol demi membuatku tertawa, kamu selalu menggetarkan hatiku. Tapi, setelahnya kamu menghilang, benar-benar menghilang, tak memunculkan batang hidungmu barang sedetik saja, sekelibat saja. Kamu seperti di sembunyikan Tuhan dan penghuni semesta bumi. Lalu sekalinya aku menemukanmu, kamu sedang bersama wanita pujaanmu, sedang tertawa, sedang melakukan hal yang biasa kamu lakukan bersamaku.

Untuk yang kesekiannya, aku menelan nelangsaku lagi. Aku berusaha untuk melupakanmu lagi, melupakan bahwa aku menyimpan harapan besar padamu, bahwa aku mencintaimu. Aku berusaha untuk tidak memikirkanmu. Untuk melupakan rambut gondrongmu, untuk tidak lagi mengingat logat sunda-jawamu, untuk melenyapkan senyummu dari ingatanku, untuk menghapus kenangan tentang kebahagiaanmu saat bercerita tentang teman-teman barumu, untuk memusnahkan segala bahagiaku saat bersamamu. Dan, aku seratus persen gagal. Kamu tetap bersikeras menetap, tak mau pergi dari sana; hatiku. Ah, brengsek! Kamu sungguh terlalu egois. Kamu tidak mencintaiku tapi kamu tidak mau pergi dari hatiku, seperti hanya ingin di cinta tapi tak mau membalas. Kamu tidak pernah suka menunggu tapi selalu membuatku menunggu. Kamu selalu bilang akan terus disisiku tapi malah lebih memilih pujaanmu daripada pemujamu. Ah lakukan saja sesukamu. Lagipula, seberapapun brengseknya kamu, aku akan selalu gagal untuk membencimu, aku akan selalu gagal untuk mengenyahkan rasa yang makin hari makin menyembilukan dada, aku akan selalu gagal untuk menyerah, aku akan selalu gagal untuk tidak mengingatmu. Aku, tetap, aku, wanita bodoh yang meski di hantam palu godam berkali-kali, tetap mencintaimu, pria brengsek blasteran sunda-jawa yang sedang dalam pelukannya.

Tapi, ketidakberdayaanku untuk membencimu, melupakanmu, dan menyerah, ada batasnya –Mas. Aku ini bukan malaikat atau Tuhan yang akan terus memaafkanmu, meski kamu sudah mematahkan hatiku hingga separonya telah menjadi serpihan. Aku ini hanya seorang manusia biasa yang kebetulan sedang berbaik hati dalam hal bersabar, bersabar dalam hal tidak membencimu, tidak membencimu dalam hal mencintaimu, mencintaimu dalam hal selalu memaafkanmu, memaafkanmu dalam segala hal yang menyakitiku. Aku masih punya lelah untuk menyerah. Jadi, kalau nanti tiba-tiba aku meninggalkanmu tanpa alasan, mungkin aku sudah di titik lelahku. Aku sudah lelah dengan kamu yang terlalu egois. Kamu yang selalu ingin menang sendiri. Kamu yang tidak pernah mau untuk mendiskusikan sesuatu dengan hatimu; tentang isi hatimu, tentang aku atau dia, tentang teman atau kekasih. Kamu yang tak pernah peduli bahwa hati seseorang yang mencintaimu tanpa minta balas ini kerap tersiksa. Karena sebenarnya aku mengharap balasan, meski sayangnya aku sudah tahu kamu; jangankan untuk membalas, menoleh padaku saja enggan. Tapi ternyata menyerah tak semudah saat dikatakan. Lihat, untuk menyerah saja aku masih tak punya daya, apalagi untuk ketahap membencimu.

Alih-alih terlalu lama aku memutuskan untuk menyerah, nanti justru kamu yang lelah denganku. Lelah dengan segala yang kita perjuangkan bersama. Dan akhirnya, jalan keluar satu-satunya hanya kamu minta aku merelakan segalanya, kamu minta aku berlapang dada, kamu minta aku melepaskanmu begitu saja. Sebagai teman sepuluh tahunmu; apakah kamu tidak pernah merenung sejenak untuk tahu rasanya jadi aku? Untuk tahu betapa luka pedih menyembilu dada, melihat kamu orang yang paling dicinta meminta selesai demi dia yang kau cinta? Mas, memangnya kamu pikir hati-ku ini sekuat apa sih? Baja? Kamu pikir baja tidak bisa hancur? Bisa! Tapi hatiku bukan baja, hatiku tak sekuat baja.

Andai membencimu mudah, melupakanmu mudah, melepaskanmu mudah, merelakanmu mudah, aku sudah melakukannya semenjak kamu memilih dia, sebelum kamu minta aku akhiri segalanya. Tapi, namanya juga perasaan, tak pernah sepenuhnya mudah untuk dikendalikan. Sekarang, aku akan coba untuk merelakan. Aku takkan banyak berharap lagi padamu. Meski sejujurnya aku masih ingin kembali, tertawa bersamamu, bercerita padamu, menemanimu. Namun, aku tahu, aku bukan lagi orang yang kamu harapkan ada disisi. Sekarang, aku hanya seorang teman biasa. Aku bukan orang yang kamu harapkan untuk saat ini ataupun mungkin nanti.
  
Jadi aku akan menyerah, akan merelakanmu, akan berlapang dada seperti yang kamu pinta. Tapi, untuk melepasmu dalam arti menyelesaikan pertemanan kita, aku mungkin tidak akan pernah menemukan caranya. Takut-takut hal itu tiba-tiba terjadi, terimakasih telah menjadi teman terbaik yang selalu ada disisi. Terimakasihku mungkin takkan begitu berarti bagimu, tapi setidaknya aku sudah berterimakasih atas apa yang telah kamu beri padaku selama sepuluh tahun ini, seperti; kenangan. Meski akhir kisahnya berbeda dari yang kita harapkan. Kita harapkan? –ralat– Aku harapkan.


Terakhir, jaga dia yang kamu pilih sebagai cinta, semoga dia tidak seperti kamu, yang memilih pergi lalu membekaskan luka. Atau, jaga perasaan dia yang kamu cinta, semoga kamu tidak mengulang kesalahan yang sama, yang memilih pergi lalu membekaskan luka. Seperti yang kamu lakukan padaku. Pada seorang yang tak pernah kau harapkan.



-Cirebon-

Komentar

Postingan Populer