Suatu hari hujan sangat deras
Hari ini, sejak adzan subuh hingga menginjak ashar, hujan belum turun,
tak ada tanda-tanda semalam hujan pula. Langit justru begitu cerah namun sinar
matahari tak begitu menyorot, terasa damai. Anak-anak yang selalu murung
ditengah jendela rumahnya kebosanan, hari ini nampak begitu bebas, berterbangan
bersama layang-layang dibawah langit sang abang sore; Senja. Namun, orang-orang
Tionghoa mulai kawatir. Bagi mereka hujan akan membawa keberuntungan di tahun
barunya. Meski hari rayanya sudah terlewat enam hari, harusnya hari ini masih
hujan. Terlihat dari wajah Ko A Hong––pemilik toko serba ada di depan rumah––di
tokonya, sibuk memandangi kalender sambil membelai-belai jenggotnya. Ku tebak
ia sedang menyamakan perhitungan hujan di hari raya Imlek dari tahun ke tahun,
dan baru kali ini terjadi kemacetan pada siklus hujannya. Tapi biarlah, sebagai
sesama umat beragama aku hanya bisa mendoakan agar toko serba adanya tetap
menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Dan semoga ia mendapat keberuntungan,
tokonya semakin laris, panjang umur dan jenggotnya makin memesona misalnya.
Sampailah aku di bawah pohon beringin langganan dekat pantai. Kuamati
anak-anak haus kebebasan yang sedang kegirangan bermain layang-layang itu. Kubuka
buku catatanku, lalu pada halaman ketiga puluh enam ku gambarkan betapa bahagianya
mereka lewat tulisan. Ku kisahkan dengan senyuman yang tanpa sadar tertular
dari tawa riang mereka. Lalu kusadari seseorang tengah duduk di sampingku
dengan tenang.
“Kalau esok tak hujan lagi, maukah kau menikmati abang sore bersamaku?”
katanya sambil menengadah menatap lingkaran oranye yang hampir tenggelam.
“Kalau hujan, di tempat mie ayam Pak Sirun saja. Tak lihat senja tak
apa, kita nikmati hujan bersama” ia terlihat berfikir. “Atau kalau hujan
berhenti sebelum petang, lalu malamnya ada rembulan, kita nikmati rembulan
bersama” ia tersenyum.
“Kalau tak ada rembulan, tak apa, kita nikmati udara sehabis hujan
bersama” tambahnya lagi kali ini sambil menatapku.
“Kau akan pulang ke Medan kan?” timpalku.
Ia diam. Jadilah suasana menjadi sendu. Tutur lembutnya yang selalu
kupuja menjadi senjata pencabik dada. Ditambah lagi mata teduhnya yang selalu
menatapku damai, disaat seperti ini malah menatapku sambil berkaca-kaca seperti
tak akan melihatku lagi. Na, kalau sudah seperti ini, berarti ia akan lama di
Medan. Dua minggu sampai sebulan bahkan pernah sampai tiga bulan. Ku ‘iya’-kan
saja pintanya agar aku bisa cepat pulang lalu menangis semalaman di kamar.
***
Esoknya aku benar-benar menuruti pintanya. Hari ini sama seperti
kemarin, hujan tidak turun dan cuaca begitu damai. Ku lihat Ko A Hong masih
menatap kalender kebingungan sambil membelai jenggotnya. Ku amati anak-anak
yang belum bosan bermain layang-layang. Kutunggu ia dengan tenang. Sampai cuaca
berubah mendung, anak-anak yang sedang asik bermain dijemput satu-persatu
hingga habis. Ia belum datang. Sampai langit abang sore benar-benar tertutup
awan abu-abu. Ia belum datang juga. Sampai rintik hujan mulai turun, semakin
lama semakin deras. Ia masih belum datang. Sampai hujan berhenti sebelum
petang, lalu malamnya muncul rembulan. Masih belum datang. Sampai rembulan yang
tadinya terang benderang, perlahan ditelan awan hitam. Belum datang juga.
Sampai hujan turun lagi, ia masih belum datang.
Ku tabahkan saja hatiku agar kuat
berjalan sampai rumah lalu menangis semalaman di kamar. Namun, saat baru ingin
beranjak pulang, seseorang dengan payung putih berlari tergesa-gesa ke arahku.
Dari jauh bisa ku tebak dia siapa. Siapa lagi yang selalu datang melapor saat
aku sedang menunggu seseorang, selain Gagas. Sampai-sampai di hadapanku, dia diam–aku
diam, seperti hanya dengan aku menatap ekspresi wajahnya, aku paham. Dan memang iya, aku sudah hafal ekspresi langganan yang selalu menjadi
bonus tiap ia memberi laporan padaku.
“Dia tak bisa datang” gotcha! pembatalan
janji dari Rafa.
Kalau Gagas sudah seperti ini, alasannya sudah
diluar kepala, pasti Nana. Wanita sebulan yang lalu, yang datang-datang langsung
menggandeng lengan Rafa saat ia sedang asik-asiknya makan siang bersamaku.
Yang datang-datang langsung memuji penampilan gitar juga suara emas Rafa yang baru dipamerkan
diacara kampus. Dan setelah hari itu, wanita bernama Nana selalu muncul merusak hari-hariku bersamanya. Anehnya, Rafa
selalu luluh, mengiyakan segala pintanya tanpa memikirkan aku––perasaanku.
“Mau ku antar pulang?” tawar Gagas dengan wajah prihatinnya. Ia merasa
kasihan pada wanita yang habis ditelantarkan ini, mungkin.
Ku ‘iya’-kan saja tawarannya agar aku bisa cepat pulang lalu menangis
semalaman di kamar. Lagipula aku tak membawa payung. Siapa yang tahu hari ini akan
hujan. Cuaca selalu menipu, kan? Begitu juga senyumannya. Aku selalu tak
mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Dulu, sebelum wanita itu hadir dalam
hidupnya, aku adalah prioritas utamanya. Semendesak macam ibunya masuk rumah
sakit hingga dia harus cepat-cepat pulang pun dia sempatkan waktu untuk
menemuiku. Namun, entah ia terkena pelet apa sampai-sampai luluh dengan wanita
bernama Nana. Lantas menelantarkan aku macam sandal bodol, habis manis sepah
dibuang.
“Dia punya alasan mengapa lebih memilih menemui Nana daripada kau, Sar”
katanya seolah tahu segalanya.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban ‘iya’ dari pernyataannya. Lalu
hening melanda sampai tiba di rumahku. Aku berterima kasih padanya karena telah
mengantarku pulang. Dia tersenyum namun tak langsung beranjak, masih berdiri
ditempatnya. Aku tahu ia ingin memastikan sampai aku masuk rumah, lalu
melaporkannya pada Rafa. Ah laki-laki itu––Rafa, benar-benar telah menjadikan ce-esnya macam burung merpati pengantar
pesan. Tentram betul hidupnya, orang yang tak berperasaan sepertinya.
***
Rafa benar-benar
pulang ke Medan tanpa pamit denganku. Sudah sebelas hari sejak ia meninggalkan
Jogja, aku tak pernah diberi kabar apapun. Bukan apa-apa, kalau dia pamit atau
memberi kabar, di Medan tiga bulan pun tak apa. Setidaknya aku tahu alasan dia
pulang dan kapan ia akan kembali. Aku tahu tiap sore, hujan tak hujan, sepulang
dari kesibukan organisasi di kampusnya Gagas selalu mampir ke rumah. Mungkin
ingin menyampaikan sesuatu yang dititipkan Rafa. Namun, aku selalu menolak
menemuinya.
Kalau ada Rafa, liburan begini selalu ku ajak ia keliling Jogja.
Sekarang tak ada Rafa, tak banyak yang bisa ku lakukan selain bermalasan macam
Joesky––salah satu kucing peliharaan Ko A Hong yang kegemukan––. Keluar sarang
kalau lapar dan ingin buang air. Mandipun kalau ibu sudah sangat marah saja.
Untungnya kuliah sedang libur panjang. Tiap pagi habis mengambil air wudhu, ku
kunci pintu kamar, sholat subuh lalu tidur lagi dan bangun pukul sembilan pagi.
Jam-jam inilah ibu selalu marah, mengetuk pintu keras-keras sambil berteriak.
Kalau sudah lelah, kalimat pamungkasnya ia keluarkan dengan suara parau,
membuatku terenyuh tak tega; Koe lak
gadis to ndo… mbo’ ya seng bener, wes tuek ibumu iki…. Lalu ketidak-tegaan
itu membawaku beranjak keluar kamar, menatap mata ibu yang berkaca-kaca lalu
mencelos ke arah kamar mandi. Na, semua itu karena cinta. Kalau bukan, takkan sudi aku
menjadi wanita malas macam kucing Ko A Hong yang selalu midang di depan tokonya
sambil nguap-nguap dan membuat ibu yang tak berdaya semarah itu. Lihat, cinta
benar-benar berpengaruh besar.
Kalau sudah begini,
aku malah ingin keluar rumah. Ditambah lagi pagi ini begitu cerah, kuputuskan
saja untuk melihat anak-anak bermain layang-layang di pinggir pantai. Namun,
sayang seribu sayang, tempat langgananku
malah sudah ditempati seseorang. Jadilah moodku berubah, aku menjadi semakin
bosan dan ingin pulang saja, masuk kamar lalu menonton tv atau tidur seharian.
Sampai-sampai di
rumah, ibu memberiku sepucuk surat abu-abu. Ku terima surat itu lalu langsung
ku buka tanpa ritual. Ku baca dengan tenang, lalu ku sadari bulir air meluncur
di pipi. Ku seka wajah basahku buru-buru, lalu langsung berlari ke tempat
anak-anak bermain tadi. Siapa yang tahu, seorang pria yang duduk di tempat
langgananku itu adalah Rafa. Dia tidak pulang ke Medan, dia menungguku tiap
hari disana. Gagas yang tiap sore mampir ke rumah itu bermaksud memberitahuku
bahwa Rafa ingin bicara padaku, Rafa menungguku, Rafa takkan ke Medan sebelum
menemuiku. Surat itu dari Gagas.
Setiba disana,
sudah tak ada siapa-siapa. Anak-anak yang bermain layang-layang, juga seorang
pria yang duduk di bawah pohon beringin. Mungkin karena cuacanya berubah
mendung mereka pulang. Karena lelah berlari jauh-jauh kesini, ku putuskan untuk
beristirahat di bawah beringin sampai pulih. Lalu perasaan bersalah, menyesal,
kecewa malah tumbuh bersamaan. Ku ingin tabahkan hati agar tak menangis di
sini, namun air mataku tak tertahankan. Jadilah aku menangis dihadapan abang
sore yang hampir habis ditelan awan abu-abu. Lalu hujan turun semakin lama
semakin deras. Aku jadi tak bisa pulang karena tak membawa payung. Ku tegarkan
saja hatiku agar kuat menunggu hujan berhenti lalu sampai rumah kering-kering.
“Harusnya kau tak
usah datang kalau ingin aku tetap di Jogja” lagi-lagi tanpa ku sadari ia tengah
duduk di sampingku dengan tenang seperti telah lama disana. Lalu aku hanya
mampu menatapnya sambil mengucek-ngucek mata yang sudah merah.
Setelah ia
meyakinkan bahwa yang dihadapanku benar-benar Rafa, ia meminta maaf atas segala
yang telah terjadi belakangan. Lalu ia menceritakan tentang gadis bernama Nana.
Ku dengarkan saja sambil angguk-angguk agar tidak terlihat tak suka, lalu ia
cepat berhenti membicarakannya. Dan, betapa terkejutnya aku saat ia mengatakan
dengan riang bahwa ia telah menyatakan cintanya pada Nana.
“Kalau nilai
semesterku bagus, akan ku ajak ia ke Medan dengan kau juga, Sar” katanya begitu
riang.
“Untuk apa?”
“Liburan Sar,
memangnya kau tak bosan di Jogja?”
“Aku tak mau, kau
bawa saja dia”
Aku tak habis pikir
dia akan seperti ini. Entah harus bagaimana lagi caraku menabahkan hati agar
tetap kuat berada disampingnya. Apalagi sejak perasaan ini muncul. Berada di
sampingnya, sekadar mengamatinya dari jauh, melihat dia tertawa bersama gadis
lain saja misalnya, cukup membuat batinku tertekan tak keruan apalagi berada di
tengah-tengah antara dua pasang kekasih yang sedang bercinta––yang prianya
kucinta.
“Cepat pulanglah ke Medan, ibumu sudah menunggu” kataku parau, lalu karena
wajahku sudah terlanjur basah kuputuskan saja untuk pulang basah-basah,
meninggalkan dia yang sedang kebingungan disana.
Esoknya Gagas
memberi kabar bahwa ia sudah pergi ke bandara pagi-pagi sekali bersama Nana. Lalu
untuk terakhir kalinya aku meminta bantuan Gagas untuk mengirimi surat yang
semalaman ku tulis untuknya nan sedang bahagia jauh disana. Isinya kira-kira
seperti ini:
Kalau kau kembali ke Jogja, jangan pernah
minta Gagas menjadi burung merpatimu lagi. Jangan pernah mengganggu kebebasan
orang-orang demi kepentinganmu. Jangan pernah bersikap seperti anak kecil lagi.
Jangan pernah mengejek jenggot Ko A Hong lagi. Jangan pernah membawa Joesky
tanpa ijin Ko A Hong lagi. Dan yang terpenting, jangan pernah kau ganggu aku
lagi. Jangan pernah menatapku seperti aku adalah milikmu, jangan pernah
tersenyum padaku seperti aku adalah harapanmu. Jangan pernah, jangan pernah
lagi, karena aku takkan pernah mau pula untuk menemuimu lagi, Mas… Bahagialah dengan wanita pilihanmu itu. Semoga
kau tak keliru.
Hari itu hujan tak
henti-henti sampai malam. Rupanya Tuhan tak terima juga hamba kesayangannya
diperlakukan begini. Di suatu hari yang malamnya hujan sangat deras itu, ku tulis
surat semalaman suntuk sambil menangis macam orang sinting. Surat itu mewakili
segala nelangsa dalam dada yang tertahankan sejak pertama memendam perasaan. Dan
malam yang hujannya sangat deras ini adalah titik lelahku. Kubulatkan
keputusanku untuk berhenti mencintainya. Berhenti menyukai senyumnya, berhenti
mengagumi matanya, berhenti tergila-gila padanya. Namun, ‘aku akan berusaha
berhenti mencintainya’ mungkin lebih baik. Terakhir, besok aku takkan menjadi
Joesky kedua lagi, takkan membuat ibu marah-marah lagi, takkan mengecewakan
Gagas lagi. Dan liburan kali ini, kuputuskan untuk membantu Ko A Hong melayani
tokonya dan sesekali ku bantu kerimbatkan jenggotnya yang makin memesona itu.
February, 11
Cirebon
Komentar
Posting Komentar