Suatu hari hujan sangat deras


Seperti dugaanku dan masyarakat pada umumnya juga harapan kaum Tionghoa, jika hari raya Imlek, kampung dilanda hujan hampir saban hari. Ku hitung-hitung, hari ini adalah hari ke-enam setelah hari raya Imlek dan hari ke-lima belas sejak pertama kali hujan mengguyur kampung. Sejak hari pertama hujan hingga kemarin, hujan turun begitu teratur sepanjang hari. Kadang-kadang, pagi-pagi sudah gerimis. Kalau tidak, tanah di pekarangan rumah dan tanaman yang bertengger basah habis diguyur hujan semalaman. Lalu siangnya hujan deras sampai ashar. Kemudian rinainya akan pudar menjelang pukul enam sore bersama redupnya alunan adzan maghrib. Na, sejak jemaah sholat isya berbondong pulang dari masjid sampai jam kaum bersarung melek, biasanya deras lagi sampai-sampai mereka pakai dua sarung, meringkut tubuhnya sambil menyeruput kopi.

Hari ini, sejak adzan subuh hingga menginjak ashar, hujan belum turun, tak ada tanda-tanda semalam hujan pula. Langit justru begitu cerah namun sinar matahari tak begitu menyorot, terasa damai. Anak-anak yang selalu murung ditengah jendela rumahnya kebosanan, hari ini nampak begitu bebas, berterbangan bersama layang-layang dibawah langit sang abang sore; Senja. Namun, orang-orang Tionghoa mulai kawatir. Bagi mereka hujan akan membawa keberuntungan di tahun barunya. Meski hari rayanya sudah terlewat enam hari, harusnya hari ini masih hujan. Terlihat dari wajah Ko A Hong––pemilik toko serba ada di depan rumah––di tokonya, sibuk memandangi kalender sambil membelai-belai jenggotnya. Ku tebak ia sedang menyamakan perhitungan hujan di hari raya Imlek dari tahun ke tahun, dan baru kali ini terjadi kemacetan pada siklus hujannya. Tapi biarlah, sebagai sesama umat beragama aku hanya bisa mendoakan agar toko serba adanya tetap menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Dan semoga ia mendapat keberuntungan, tokonya semakin laris, panjang umur dan jenggotnya makin memesona misalnya.

Sampailah aku di bawah pohon beringin langganan dekat pantai. Kuamati anak-anak haus kebebasan yang sedang kegirangan bermain layang-layang itu. Kubuka buku catatanku, lalu pada halaman ketiga puluh enam ku gambarkan betapa bahagianya mereka lewat tulisan. Ku kisahkan dengan senyuman yang tanpa sadar tertular dari tawa riang mereka. Lalu kusadari seseorang tengah duduk di sampingku dengan tenang.

“Kalau esok tak hujan lagi, maukah kau menikmati abang sore bersamaku?” katanya sambil menengadah menatap lingkaran oranye yang hampir tenggelam.

“Kalau hujan, di tempat mie ayam Pak Sirun saja. Tak lihat senja tak apa, kita nikmati hujan bersama” ia terlihat berfikir. “Atau kalau hujan berhenti sebelum petang, lalu malamnya ada rembulan, kita nikmati rembulan bersama” ia tersenyum.

“Kalau tak ada rembulan, tak apa, kita nikmati udara sehabis hujan bersama” tambahnya lagi kali ini sambil menatapku.

“Kau akan pulang ke Medan kan?” timpalku.

Ia diam. Jadilah suasana menjadi sendu. Tutur lembutnya yang selalu kupuja menjadi senjata pencabik dada. Ditambah lagi mata teduhnya yang selalu menatapku damai, disaat seperti ini malah menatapku sambil berkaca-kaca seperti tak akan melihatku lagi. Na, kalau sudah seperti ini, berarti ia akan lama di Medan. Dua minggu sampai sebulan bahkan pernah sampai tiga bulan. Ku ‘iya’-kan saja pintanya agar aku bisa cepat pulang lalu menangis semalaman di kamar.

***

Esoknya aku benar-benar menuruti pintanya. Hari ini sama seperti kemarin, hujan tidak turun dan cuaca begitu damai. Ku lihat Ko A Hong masih menatap kalender kebingungan sambil membelai jenggotnya. Ku amati anak-anak yang belum bosan bermain layang-layang. Kutunggu ia dengan tenang. Sampai cuaca berubah mendung, anak-anak yang sedang asik bermain dijemput satu-persatu hingga habis. Ia belum datang. Sampai langit abang sore benar-benar tertutup awan abu-abu. Ia belum datang juga. Sampai rintik hujan mulai turun, semakin lama semakin deras. Ia masih belum datang. Sampai hujan berhenti sebelum petang, lalu malamnya muncul rembulan. Masih belum datang. Sampai rembulan yang tadinya terang benderang, perlahan ditelan awan hitam. Belum datang juga. Sampai hujan turun lagi, ia masih belum datang.

 Ku tabahkan saja hatiku agar kuat berjalan sampai rumah lalu menangis semalaman di kamar. Namun, saat baru ingin beranjak pulang, seseorang dengan payung putih berlari tergesa-gesa ke arahku. Dari jauh bisa ku tebak dia siapa. Siapa lagi yang selalu datang melapor saat aku sedang menunggu seseorang, selain Gagas. Sampai-sampai di hadapanku, dia diam–aku diam, seperti hanya dengan aku menatap ekspresi wajahnya, aku paham. Dan memang iya, aku sudah hafal ekspresi langganan yang selalu menjadi bonus tiap ia  memberi laporan padaku.

“Dia tak bisa datang” gotcha! pembatalan janji dari Rafa.

Kalau Gagas sudah seperti ini, alasannya sudah diluar kepala, pasti Nana. Wanita sebulan yang lalu, yang datang-datang langsung menggandeng lengan Rafa saat ia sedang asik-asiknya makan siang bersamaku. Yang datang-datang langsung memuji penampilan gitar juga suara emas Rafa yang baru dipamerkan diacara kampus. Dan setelah hari itu, wanita bernama Nana selalu muncul merusak hari-hariku bersamanya. Anehnya, Rafa selalu luluh, mengiyakan segala pintanya tanpa memikirkan aku–perasaanku.

“Mau ku antar pulang?” tawar Gagas dengan wajah prihatinnya. Ia merasa kasihan pada wanita yang habis ditelantarkan ini, mungkin.

Ku ‘iya’-kan saja tawarannya agar aku bisa cepat pulang lalu menangis semalaman di kamar. Lagipula aku tak membawa payung. Siapa yang tahu hari ini akan hujan. Cuaca selalu menipu, kan? Begitu juga senyumannya. Aku selalu tak mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Dulu, sebelum wanita itu hadir dalam hidupnya, aku adalah prioritas utamanya. Semendesak macam ibunya masuk rumah sakit hingga dia harus cepat-cepat pulang pun dia sempatkan waktu untuk menemuiku. Namun, entah ia terkena pelet apa sampai-sampai luluh dengan wanita bernama Nana. Lantas menelantarkan aku macam sandal bodol, habis manis sepah dibuang.

“Dia punya alasan mengapa lebih memilih menemui Nana daripada kau, Sar” katanya seolah tahu segalanya.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban ‘iya’ dari pernyataannya. Lalu hening melanda sampai tiba di rumahku. Aku berterima kasih padanya karena telah mengantarku pulang. Dia tersenyum namun tak langsung beranjak, masih berdiri ditempatnya. Aku tahu ia ingin memastikan sampai aku masuk rumah, lalu melaporkannya pada Rafa. Ah laki-laki itu––Rafa, benar-benar telah menjadikan ce-esnya macam burung merpati pengantar pesan. Tentram betul hidupnya, orang yang tak berperasaan sepertinya.

***

                Rafa benar-benar pulang ke Medan tanpa pamit denganku. Sudah sebelas hari sejak ia meninggalkan Jogja, aku tak pernah diberi kabar apapun. Bukan apa-apa, kalau dia pamit atau memberi kabar, di Medan tiga bulan pun tak apa. Setidaknya aku tahu alasan dia pulang dan kapan ia akan kembali. Aku tahu tiap sore, hujan tak hujan, sepulang dari kesibukan organisasi di kampusnya Gagas selalu mampir ke rumah. Mungkin ingin menyampaikan sesuatu yang dititipkan Rafa. Namun, aku selalu menolak menemuinya.

Kalau ada Rafa, liburan begini selalu ku ajak ia keliling Jogja. Sekarang tak ada Rafa, tak banyak yang bisa ku lakukan selain bermalasan macam Joesky––salah satu kucing peliharaan Ko A Hong yang kegemukan––. Keluar sarang kalau lapar dan ingin buang air. Mandipun kalau ibu sudah sangat marah saja. Untungnya kuliah sedang libur panjang. Tiap pagi habis mengambil air wudhu, ku kunci pintu kamar, sholat subuh lalu tidur lagi dan bangun pukul sembilan pagi. Jam-jam inilah ibu selalu marah, mengetuk pintu keras-keras sambil berteriak. Kalau sudah lelah, kalimat pamungkasnya ia keluarkan dengan suara parau, membuatku terenyuh tak tega; Koe lak gadis to ndo… mbo’ ya seng bener, wes tuek ibumu iki…. Lalu ketidak-tegaan itu membawaku beranjak keluar kamar, menatap mata ibu yang berkaca-kaca lalu mencelos ke arah kamar mandi. Na, semua itu  karena cinta. Kalau bukan, takkan sudi aku menjadi wanita malas macam kucing Ko A Hong yang selalu midang di depan tokonya sambil nguap-nguap dan membuat ibu yang tak berdaya semarah itu. Lihat, cinta benar-benar berpengaruh besar.

                Kalau sudah begini, aku malah ingin keluar rumah. Ditambah lagi pagi ini begitu cerah, kuputuskan saja untuk melihat anak-anak bermain layang-layang di pinggir pantai. Namun, sayang seribu sayang,  tempat langgananku malah sudah ditempati seseorang. Jadilah moodku berubah, aku menjadi semakin bosan dan ingin pulang saja, masuk kamar lalu menonton tv atau tidur seharian.

                Sampai-sampai di rumah, ibu memberiku sepucuk surat abu-abu. Ku terima surat itu lalu langsung ku buka tanpa ritual. Ku baca dengan tenang, lalu ku sadari bulir air meluncur di pipi. Ku seka wajah basahku buru-buru, lalu langsung berlari ke tempat anak-anak bermain tadi. Siapa yang tahu, seorang pria yang duduk di tempat langgananku itu adalah Rafa. Dia tidak pulang ke Medan, dia menungguku tiap hari disana. Gagas yang tiap sore mampir ke rumah itu bermaksud memberitahuku bahwa Rafa ingin bicara padaku, Rafa menungguku, Rafa takkan ke Medan sebelum menemuiku. Surat itu dari Gagas.

                Setiba disana, sudah tak ada siapa-siapa. Anak-anak yang bermain layang-layang, juga seorang pria yang duduk di bawah pohon beringin. Mungkin karena cuacanya berubah mendung mereka pulang. Karena lelah berlari jauh-jauh kesini, ku putuskan untuk beristirahat di bawah beringin sampai pulih. Lalu perasaan bersalah, menyesal, kecewa malah tumbuh bersamaan. Ku ingin tabahkan hati agar tak menangis di sini, namun air mataku tak tertahankan. Jadilah aku menangis dihadapan abang sore yang hampir habis ditelan awan abu-abu. Lalu hujan turun semakin lama semakin deras. Aku jadi tak bisa pulang karena tak membawa payung. Ku tegarkan saja hatiku agar kuat menunggu hujan berhenti lalu sampai rumah kering-kering.

                “Harusnya kau tak usah datang kalau ingin aku tetap di Jogja” lagi-lagi tanpa ku sadari ia tengah duduk di sampingku dengan tenang seperti telah lama disana. Lalu aku hanya mampu menatapnya sambil mengucek-ngucek mata yang sudah merah.

                Setelah ia meyakinkan bahwa yang dihadapanku benar-benar Rafa, ia meminta maaf atas segala yang telah terjadi belakangan. Lalu ia menceritakan tentang gadis bernama Nana. Ku dengarkan saja sambil angguk-angguk agar tidak terlihat tak suka, lalu ia cepat berhenti membicarakannya. Dan, betapa terkejutnya aku saat ia mengatakan dengan riang bahwa ia telah menyatakan cintanya pada Nana.

                “Kalau nilai semesterku bagus, akan ku ajak ia ke Medan dengan kau juga, Sar” katanya begitu riang.

                “Untuk apa?”

                “Liburan Sar, memangnya kau tak bosan di Jogja?”

                “Aku tak mau, kau bawa saja dia”

                Aku tak habis pikir dia akan seperti ini. Entah harus bagaimana lagi caraku menabahkan hati agar tetap kuat berada disampingnya. Apalagi sejak perasaan ini muncul. Berada di sampingnya, sekadar mengamatinya dari jauh, melihat dia tertawa bersama gadis lain saja misalnya, cukup membuat batinku tertekan tak keruan apalagi berada di tengah-tengah antara dua pasang kekasih yang sedang bercinta––yang prianya kucinta.

“Cepat pulanglah ke Medan, ibumu sudah menunggu” kataku parau, lalu karena wajahku sudah terlanjur basah kuputuskan saja untuk pulang basah-basah, meninggalkan dia yang sedang kebingungan disana.

                Esoknya Gagas memberi kabar bahwa ia sudah pergi ke bandara pagi-pagi sekali bersama Nana. Lalu untuk terakhir kalinya aku meminta bantuan Gagas untuk mengirimi surat yang semalaman ku tulis untuknya nan sedang bahagia jauh disana. Isinya kira-kira seperti ini:

                Kalau kau kembali ke Jogja, jangan pernah minta Gagas menjadi burung merpatimu lagi. Jangan pernah mengganggu kebebasan orang-orang demi kepentinganmu. Jangan pernah bersikap seperti anak kecil lagi. Jangan pernah mengejek jenggot Ko A Hong lagi. Jangan pernah membawa Joesky tanpa ijin Ko A Hong lagi. Dan yang terpenting, jangan pernah kau ganggu aku lagi. Jangan pernah menatapku seperti aku adalah milikmu, jangan pernah tersenyum padaku seperti aku adalah harapanmu. Jangan pernah, jangan pernah lagi, karena aku takkan pernah mau pula untuk menemuimu lagi, MasBahagialah dengan wanita pilihanmu itu. Semoga kau tak keliru.

                Hari itu hujan tak henti-henti sampai malam. Rupanya Tuhan tak terima juga hamba kesayangannya diperlakukan begini. Di suatu hari yang malamnya hujan sangat deras itu, ku tulis surat semalaman suntuk sambil menangis macam orang sinting. Surat itu mewakili segala nelangsa dalam dada yang tertahankan sejak pertama memendam perasaan. Dan malam yang hujannya sangat deras ini adalah titik lelahku. Kubulatkan keputusanku untuk berhenti mencintainya. Berhenti menyukai senyumnya, berhenti mengagumi matanya, berhenti tergila-gila padanya. Namun, ‘aku akan berusaha berhenti mencintainya’ mungkin lebih baik. Terakhir, besok aku takkan menjadi Joesky kedua lagi, takkan membuat ibu marah-marah lagi, takkan mengecewakan Gagas lagi. Dan liburan kali ini, kuputuskan untuk membantu Ko A Hong melayani tokonya dan sesekali ku bantu kerimbatkan jenggotnya yang makin memesona itu.


February, 11
Cirebon

Komentar

Postingan Populer