Ketika Mata Merajut Rindu


Pedih. Perih. Ngilu. Kaku. Dan seribu macam rasa sakit. Itulah yang dirasakannya ketika pertama kali menyenakkan mata. Ia mencoba bergerak. Menggeliat. Tetapi rasa sakit justru kian menyengat. Terutama ditulang belikat. Tangannya kaku seperti terlilit kuat bersama seluruh tubuhnya. Sedikit saja mencoba menggerakkannya, lilitan itu seperti menyayat-nyayat kulitnya. Ia mengeluh. Dan berdesis menahan segala rasa sakit. Dengan tubuh tetap terbaring miring, sementara kaki bertekuk udang, ia menjelajahkan mata menyiasati ruangan. Gelap. Satu-satunya cahaya yang sedikit menerangi hanyalah sepotong sinar yang menyusup lewat celah atap. Itu pun tidak terlalu besar. Meskipun demikian, dengan bantuan sinar itu, ia bisa sedikit mengenal ruang penyekapnya. Ahh bukan, ini bukan ruang penyekap, ini kamar yang mirip ruang penyekap. Sempit. Temboknya lembab, mengelupas pula. Atapnya terbuat dari genteng dengan kasau yang rapat lagi besar, mengesankan sebuah ruang penyekap yang kokoh. Dan, tentu saja, pengap.

Udara pagi yang dingin selalu berusaha menembus masuk dan membuat tubuhnya yang tanpa dibalut selimut, semakin meringkut kedinginan. Ditambah memar disekujur tubuhnya akibat ditawan sapu lidi semalaman oleh Ayahnya, terasa makin menyembilu, ngilu. Namun ini bukan apa-apa bagi Limaran. Semua rasa sakit ditubuhnya bukan apa-apa ketimbang rasa bersalah atas kejadian semalam. Yang membuat Barnas, yang ternyata selama ini adalah Ayah angkatnya; begitu murka hingga terlihat bibirnya gemetar dan napasnya terengah-engah. Limaran tak menyangka sama sekali perbedaan pendapat dengan Ayahnya akan bermuara pada kebenaran pahit. Baginya ditawan sapu lidi adalah lumrah. Yang jadi masalah, pertengakarannya kali ini sampai membuat Ayahnya mengatakan hal yang belum pernah dikatakan selama delapan belas tahun ini hingga membuat Limaran harus menelan kepahitan itu mentah-mentah.

Malam itu sesungguhnya Limaran hanya ingin berkata bahwa ia sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Jogja. Suasana malam itu begitu damai. Barnas sedang duduk di teras depan pekarangan sambil menyeruput kopinya sayang-sayang. Sedangkan Maria duduk disampingnya sambil fokus berkencan dengan benang jahitnya. Kemudian Limaran langsung duduk di hadapan kedua orang tuanya, tanpa ritual.

“Maafkan, Ayah, aku ingin di Jogja saja. Dari beberapa pilihan yang Ayah sarankan, aku memutuskan untuk ke Jogja. Tidaklah mungkin aku belajar dengan keberathatian karena tidak sejalan dengan inginku, bukan begitu, Yah?”

“Ayah paham betul itu. Tapi, dengar, kau adalah perempuan satu-satunya milik Ayah. Tak perlulah kuliah jauh-jauh begitu, di Medan kau tak mungkin tidak diterima, Limaran.” Kata Barnas parau.

“Tapi, Ayah, aku sudah dewasa. Tak bisakah Ayah percayakan segalanya padaku saja? Aku janji, disana aku takkan banyak tingkah, aku akan belajar sungguh-sungguh, dan takkan menelfon Ayah sambil merengek-rengek minta pulang. Dengan begini aku takkan merepotkan Ayah dan Ibu lagi.”

“Limaran, Ayah dan Ibu tahu yang terbaik untukmu. Ayahmu benar..”  sela Maria dengan  nada penuh kearifan seorang ibu sejatinya. Namun, Limaran tetap pada keputusannya, dan Barnas pada pendiriannya. Sampai perdebatan mereka menjadi tak berujung. Emosi Barnas semakin melonjak. Hingga akhirnya sapu lidi diraihnya dari pojok pintu lalu menawan tubuh Limaran tanpa ampun. Limaran terjerembab, berteriak, menangis, kesakitan, dan terus minta ampun. Maria hanya bisa menangis sambil mencoba memisahkan keduanya, namun ia terus tersungkur jatuh akibat dorongan Barnas.

“Mengapa kau tak pernah mau menurut kepada Ayah? Bilapun iya mungkin ini memang karena aku bukan Ayahmu yang sesungguhnya. Pergilah semaumu, tak pernah mau aku mengurusi anak orang lain yang tak pernah mau patuh. Lelah batinku saban hari.” kalimat yang mungkin tanpa disadari keluar begitu saja dari mulut Barnas, membuat Limaran tersentak bukan main. Dengan mata masih berair dan wajah yang kacau, Limaran menatap mata Ibu dan Ayahnya bergantian seraya tak percaya. Apa? Apa maksud Ayah? Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Limaran langsung berlari menjauh, lalu mennyekap dirinya sendiri di kamar gudang belakang yang mirip ruang penyekap.

Selang beberapa menit terdengar Maria mengetuk-ngetuk pintu kamar gudang itu lalu membukanya tanpa dipersilahkan. Ia menceritakan semuanya. Kejadian Sembilan belas tahun yang lalu. Ketika ia ada dalam kesedihan yang pelik. Ia begitu ingin mempunyai anak perempuan, namun karena penyakitnya yang parah ia harus merelakan rahimnya. Lalu mengingat adik iparnya sedang mengandung kala itu, mereka akhirnya bersepakat, “Apabila yang lahir nanti adalah perempuan, ijinkan aku membesarkannya sampai berhasil, jadikan ia anak perempuanku, akan ku buat ia gemuk dan pandai”. Dan tak dinyana, lahirlah seorang bayi perempuan yang adalah Limaran. Setelah satu tahun Limaran di susui oleh Ibu biologisnya, Sarah, tibalah waktunya untuk memberikannya pada Maria untuk dibesarakan olehnya.

“Begitulah kira-kira ceritanya. Maafkan Ayah dan Ibu, telah membuatmu begitu sengsara sehingga tak pernah kau rasakan kasih sayang Ibu kandungmu.” Jelas Maria. “Ayah tidak mengizinkanmu ke Jogja, karena Ibumu tinggal disana. Ayahmu takut kau akan bertemu dengannya lalu kau jadi tak mau pulang ke Medan lagi karena membenci kami. Namun, rasa-rasanya kami begitu jahat sehingga menghalangimu bertemu dengan Ibumu. Lusa kami telah memutuskan untuk mengantarmu padanya, ke Jogja. Kau mau memilih bersama kami atau Ibumu disana, terserah padamu, Ibu tahu kau telah tumbuh dewasa, Limaran”. Lanjut Maria sambil menyeka airmata yang terus menghujani wajah Limaran, lalu memeluknya erat.

***
           
Tibalah hari ketika langkah kaki menjemput rindu. Limaran bersama Ayah dan Ibunya telah berdiri di depan rumah klasik bernuansa Jawa yang sederhana nan menawan. Belum sempat menekan bel, muncul wanita gemuk paruh baya berdaster juga berjilbab dari dalam rumah itu. Seperti tengah menanti-nanti kedatangan ketiganya, wanita berparas manis itu buru-buru menghampirinya sambil membenah diri lalu langsung membukakan pagar, dan mempersilahkan masuk. Maria dan Barnas berjalan masuk, sedang Limaran dan wanita paruh baya yang adalah Sarah itu masih mematung ditempat.
           
Ketika mata merajut rindu, keduanya hanya saling menatap sambil menahan sembilu. Mata keduanya saling berkaca-kaca. Tubuh keduanya saling gemetar. Sampai akhirnya Sarah tak mampu menahan, “Limaran..” sapanya parau tersendat-sendat menahan tangis, namun gagal. Limaran hanya tak sanggup barang melangkahkan kakinya untuk memeluk sosok yang selama delapan belas tahun sesungguhnya ia rindukan. Perasaannya berkecamuk. Ia sesungguhnya senang, namun ingin marah. Selama delapan belas tahun ini ia telah hilang arah. Tempat yang ia kira teraman ternyata liar, antah berantah. Ia telah banyak sengsara. Andaikan delapan belas tahun lalu, Sarah tak mau menyetujui kesepakatan itu, tubuh Limaran takkan memar-memar habis ditawan sapu lidi. Ia takkan mendapatkan perlakuan kasar, dan psikologisnya takkan kacau sebagai dampaknya. Namun sudahlah, semua sudah terjadi. Kini Limaran tinggal berusaha sekuat tenaga demi melawan tubuhnya yang gemetar, untuk berlari kearah Sarah lalu memeluknya erat-erat.
           
Malam ini bulan masih tergantung di langit dan belum terlalu jauh bergoyang dari tempatnya semula pada petang hari. Sinarnya menyinari mayapada yang sedang dibuai angin malam sehingga sinar temaramnya turun perlahan menggapai cakrawala. Demikian sepi hingga Limaran dapat mendengar suara tarikan napasnya sendiri. Juga desah kegelisahan Barnas di kamarnya dapat ia dengar dari luar. Kini ia sedang duduk bersebelahan bersama Sarah di dekat pekarangan yang terdapat sebatang pohon kering melintang. Mereka duduk berimpit seakan-akan batang itu terlampau sempit untuk mereka berdua. Ada kehangatan menjalar dalam darah mereka. Ada getar-getar di selaput hati masing-masing. Ada kata meski tak dapat terucap.
           
Angin malam semakin menyusup di sela-sela tubuh mereka yang serasa menyatu. Ketika kesediaman menjadi semakin panjang, ada keinginan untuk membuka sebuah percakapan. Dan Limaran yang memulainya. “Sudah ku bulatkan keputusan, aku akan kuliah di Jogja, Bu” katanya begitu tenang.
           
“Sudahkah Ayahmu merestuinya, nduk?”
           
“Enggih”
           
“Tolong jangan melupakan jasa kedua orang tua angkatmu. Bilapun kau telah begitu senang di Jogja, sempatkan waktumu untuk mampir, pulang ke Medan. Berlama-lama disana tak apa, buat keduanya bahagia dan bangga.” Tandas Sarah.
           
“Maafkan Ibu, atas segala yang telah terjadi sehingga kau harus melewati durjana berkepanjangan”. Limaran diam. Ia hanya menatap mata Ibunya lekat-lekat saja sambil merajut kerinduannya. Lalu tersenyum dan merengkuh Ibunya erat-erat.

***
           
Apabila ia bukan Limaran, barangkali impitan duka ini tidak akan terjadi. Barnas, Ayah angkatnya, tidak akan terbaring lemah di sebuah kamar rumah sakit dalam keadaan tak berdaya. Apabila ia bukan Limaran, barangkali ia dapat menemukan cara yang lebih santun untuk menjembatani tiap beda pendapat dengan Ayahnya. Limaran, meski telah tahu Barnas bukan Ayah kandungnya, ia menyayanginya dengan sungguh. Disamping sikap keras Barnas, ia selalu berusaha menjadi Ayah yang baik untuk Limaran. Barnas paham betul, Limaran butuh teman berbagi karena ia selalu sendirian di rumah. Maka dengan keluarbiasaannya, Barnas selalu mampu menjadi sahabat Limaran yang selalu membuat Limaran bercerita tentang apapun padanya. Pun mampu menjadi kakak juga adik bagi Limaran yang selalu jahil, bercanda gurau sehingga Limaran tak merasa sendirian. Limaran juga paham betul sikap keras Ayahnya tidak lain adalah bentuk usaha untuk menjadikan dirinya jauh lebih baik.

Ditengah-tengah perkuliahan Limaran yang baru berlangsung beberapa bulan, Limaran mendapat kabar bahwa Ayah angkatnya, Barnas sedang sakit parah di Medan. Setalah tahu kabar itu, tanpa pikir panjang, tanpa ritual dan tanpa aba-aba; ia langsung berangkat ke Medan. Kakinya tidak merasa menapak bumi ketika ia sampai dan turun dari mobil. Ia berlari. Rumah sakit kecil ini sudah ia kenal dengan baik tiap-tiap pintunya. Ia berlari ke kamar perawatan darurat. Pada lorong di depan kamar perawatan, terlihat beberapa orang yang sudah ia kenal. Semuanya gelisah. Sampai-sampai Limaran langsung duduk di samping Maria lalu menenangkannya sambil menahan tangis.

Limaran mengumpat dalam hati, memori bersama Barnas terputar mennostalgia. Ia jadi merasa begitu rendah karena telah menjadi begitu nakal dihadapan Ayahnya selama ini. Selalu memancing amarahnya, pun menyiksa batinnya saban hari. Namun dengan segenap kerendahannya, ia berdoa sekiranya Ayahnya selamat. Ia ingin berkesempatan mencium telapak kaki Barnas. Limaran ingin mendengar kembali tutur kata juga canda tawa Barnas. Limaran tidak ingin Ayahnya menyesel telah mengambilnya sebagai anak angkat. Namun semua terlambat ketika mata tak dapat merajut rindu, ketika dokter keluar dan mengatakan Ayah pergi, ketika mata teduh yang selalu dapat merajut rindu telah terpejam untuk pergi.

Mengapa? Ketika aku diberi hadiah yang begitu besar, kesenangan yang tiada tara ketika dapat mengetahui bahkan memeluk tubuh Ibu kandungku yang selama delapan belas tahun aku dalam pengasingan. Ketika mata telah dapat merajut rindu. Ketika aku menjadi sadar dan begitu menyayangi Ayah meskipun Ayah angkatku. Ketika aku begitu merasa paling beruntung menjadi anaknya, dibesarkan olehnya bahkan disayangi olehnya. Mengapa ketika semua nikmat sudah ku miliki, lalu dengan begitu cepat Engkau ambil kembali.

Seperti berjalan diantara mimpi dan sadar, aku bergerak masuk. Kulihat bayang-bayang sesosok tubuh yang terbujur diam. Entah apa yang terpekik dari mulut ketika aku menjatuhkan diri. Ketelungkupkan wajahku diatas kaki Ayah. Kuciumi telapaknya, kugenggam jemarinya. Samar-samar masih kurasakan getaran halus yang sporadis. Dalam pandangan yang amat baur masih sempat kulihat Ibu membisikkan doa dan mengusap air mata. Selebihnya, aku tak tahu apa-apa lagi. Aku tak mendengar apa-apa lagi.
           
Ketika mata teduhnya telah terlelap, tak ada satupun rindu dapat terajut sekalipun menangis semalaman selain mengirim surat kerinduan lewat do’a.




Cirebon, 17 Desember 2017

Komentar

Postingan Populer