Biar aku menjadi abu, kamu menjadi api




Malam senyap, tak ada suara kecuali bunyi semilir angin berembus, menampar-nampar jendela kayu yang kubiarkan terbuka, menyelisik daun delima, menjatuhkan buah kenari, menepis permukaan kolam ikan di pekarangan, menyapu padang rembulan, lalu terlontar jauh, amat jauh. Kemudian samar terdengar langkah jemaah sholat isya yang telah selesai witir di masjid, namun sebentar, mereka langsung masuk rumah mengunci pintu, mematikan lampu lalu bertamasya ke pulau kasur masing-masing karena takut terlambat ke kantor. Malam jadi semakin senyap, angin berembus makin kencang hingga burung-burung pipit yang tidur terbangun, bercuit-cuit berebut tempat tidur, lalu senyap lagi. Namun, biasanya sebentar lagi ada suara klenteng pertanda kemunculan nasi goreng keliling yang singkat. Karena semua telah tertidur lelap, ia hanya numpang lewat saja sambil pamer klenteng khasnya, nanti di kampung sebelah –kampungnya orang bersarung– dagangannya akan habis sekali tebas.


Malam ini, meski tersembul diantara gumpal awan Agustus, purnama pukul sepuluh malam yang masih mengintip-intip terlihat begitu terang benderang. Begitu terang hingga aku yang sedang duduk sendiri di beranda, sedih, kesepian, dan merana, dapat melihat gurat nasib di telapak tangan kiriku dengan tangan kanan yang masih betah menggenggam pena. Sambil merasakan gelenyar hangat yang diciptakan segelas kopi, pada telapak tangan kiri yang kutatap lekat-lekat, kutemukan nasib seorang perindu yang rindunya tak mampu lagi terbendungkan, namun yang dirindu tak pernah sudi merengkuhkan.

Ku hela nafas panjang lalu menyesap kopi pelan-pelan. Ku tatap purnama yang hampir sempurna, yang kini gempulan awan disekitarnya telah berangsut menjauh.  Lalu  bulir air jatuh membasahi kertas coklat berisikan puisi yang belum rampung. Beberapa tulisan jadi terhapus karena airmata. Padahal ingin ku rampungkan malam ini juga untuk menggembirakan hati seseorang yang selalu senang dibuatkan puisi. Yang selalu menjadi penyebab rindu nomor satu. Yang selalu terpikirkan hingga segalanya menjadi yang kedua. Namun, meski malam ini purnama bergitu terang benderang, purnama yang satunya lagi tengah hilang, menemaramkan hatiku yang sedang dibuai rindu tak berkesudahan.

           Kalau sudah begini, artinya semua telah terlanjur membesitkan pikiran. Beberapa kebahagiaan yang tercipta bersama pada bulan-bulan penuh keindahan terbesit dalam ingatan. Sedih, kesepian dan meranaku jadi terinterupsi sejenak, mempersilahkan kenangan berputar saja duluan. Lalu kenangan-kenangan itu berputar lambat, agar aku dapat menikmatinya lamat-lamat lalu merasakan rindu yang semakin teramat. Sungguh, jika soal rindu biarkan saja aku yang merindukanmu, tak apa meski sepihak dan sendirian. Karena menjadi perindu adalah durjana kelas kakap, kau tak akan sanggup.

           Kuhela nafas panjang lalu menyesap kopi lagi pelan-pelan. Pada sesapan kopi kedua ini, muncul perangai seorang pria sunda yang matanya enak dipandang, tubuhnya kurus, tinggi semampai, suaranya tak begitu berbariton namun lembut; sedang menyisir rambut di depan kaca spion motornya. Lalu segera tersadar ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh. Aku terus berjalan ke arahnya, sedang ia buru-buru mengenakan kacamata lalu tersenyum lebar. Waktu itu masih sangat pagi, rasanya seperti mendapat asupan energi yang cukup untuk mengusir kantuk. Dan inilah pemandangan pagi yang paling menyejukkan dari pagi-pagi yang lain. Biasanya aku adalah orang paling berharap tidak melihatmu karena selalu datang bersama seseorang. Tapi nggak papa, biar saja aku menjadi abu dan kamu menjadi api. Aku tidak akan mempermasalahkan selama kamu tetap mencintaiku. Aku akan berusaha memahami selama aku tetap prioritasmu. Kamu bebas selama aku masih menetap dalam dadamu.

             Kuhela nafas panjang lalu menyesap kopi lagi pelan-pelan, dua tegukan sekaligus. Kemudian muncul senyuman sepasang kekasih dalam sebuah foto yang selalu kutatap sambil mendengar suara baritonmu dari ujung telfon. Begitu banyak perselisihan singkat yang mendebarkan dada lewat komunikasi suara itu. Kamu yang selalu marah karena aku terus diam, sampai kamu sempat berputus asa dengan sifatku yang tak sesuai harapanmu. Namun sebentar, panggilan suara itu akan kembali dipenuhi gelak tawa lalu kita kembali dengan kebaik-baik sajaan. Kita bukan tipe orang yang menjadikan chatting adalah segalanya dalam hubungan. Kamu cuek bukan main kalau soal ini. Tapi kamu tetap orang yang begitu baik, kamu mengajariku banyak hal. Aku paham bahwa setiap orang butuh ruang sendiri, butuh melakukan sesuatu tanpa diganggu bunyi notifikasi bbm yang harus segera dibalas lalu jadi gagal fokus sama hal yang sedang dilakukan karena cemas setelah sudah dibalas pesannya belum dibalas lagi. Dan sejauh waktu berjalan kita telah menjadi dua orang paling cuek dalam persoalan ini. Meskipun efeknya kadang membuatku merasa nggak begitu penting dalam hidupmu. Tapi nggak papa, biar aku menjadi abu dan kamu menjadi api. Aku tidak akan mempermasalahkan selama kamu nggak macem-macem. Aku akan memahami selama aku yang tetap kamu jadikan sebagai tempat pulang. Kamu bebas selama namaku yang tetap terpatri dalam hatimu.

          Kuhela nafas panjang lalu menyesap kopi lagi pelan-pelan, beberapa tegukan sekaligus hingga kopinya tinggal sepertiga dari utuhnya. Kemudian muncul seorang wanita yang pada hari itu begitu senang menunggu seseorang datang di depan teras rumahnya. Itu liburan lalu, saat kita memutuskan untuk bertemu karena sudah lama dipisahkan jarak. Entah mengapa menunggumu tak pernah menciptakan kekesalan dalam dada. Justru hal yang paling kutunggu-tunggu adalah suatu hari saat aku menunggumu datang. Meskipun kadang menunggu selalu mencemaskan. Aku hanya selalu membayangkan apa yang sedang kau lakukan hingga begitu lama, dan itu sungguh menyenangkan. Namun yang paling menyenangkan adalah ketika suara motormu memekakan telinga, tiba didepan rumah bersama pria yang begitu kurindukan, yang langsung melepas helm dan kacamatanya, menggamit sisir dan merapihkan rambutnya di depan kaca spion motornya, lalu tersenyum padaku.

Hari itu perjalanan begitu damai bersama senja lalu diakhiri dengan rasi belantik yang mengantar kami pulang. Aku berharap banyak lampu merah yang menahan kita lalu detiknya terhenti agar kita bisa lebih lama bersama saat itu. Namun semua justru terasa begitu cepat, kita bertemu begitu singkat. Tiba-tiba telah sampai lagi di depan rumah, lalu kamu pamit pulang buru-buru. Kemudian malamnya aku tersiksa lagi oleh rindu. Rindu semakin menjadi saat bersama seseorang yang dirindu itu memang benar adanya. Tapi nggak papa, biar aku menjadi abu dan kamu menjadi api. Aku tidak akan mempermasalahkan selama aku yang akan selalu kau ajak bertualang bersama. Kamu bebas selama kamu dan aku tetap bersama, karena pada akhirnya kita akan pulang ke tempat yang sama. Nanti sesampainya di depan rumah, kalimat “aku pulang ya, salam buat papa mama” akan tergantikan oleh “kuncinya kamu yang pegang kan?”.

Kuhela nafas panjang lalu menyesap kopi lagi pelan-pelan, beberapa tegukan sekaligus sampai kopinya habis. Lalu aku membaca ulang puisi-puisi pada lembar sebelumnya yang telah rampung dalam sekumpulan kertas coklat itu, yang tidak basah. Ada begitu banyak coretan dalam lembar yang lainnya. Coretan itu adalah belasan tulisan yang gagal menjadi puisi. Dan dalam lembar kertas yang lain, kutemukan tulisan ini:

“Kalau rindu, ucapkan namaku lima puluh kali. Nanti tak rindu lagi.”

Kucoba pejamkan mata. Lalu menyebut namamu lima puluh kali dalam hati. Kubuka mata, kulihat sekeliling. Kulihat purnama, daun delima, buah kenari dan jendela kamar yang masih terbuka.

Lampu padam.

Malam diam.

Aku masih rindu.





August, 09

Komentar

Postingan Populer