Salam Rindu dari Veteran Tua
Di bawah matahari pukul satu siang,
Wakiman berdiri di seberang depan stasiun. Sosok pengemis buta yang nampak kering,
compang-camping dan gelisah itu sedang merekam hiruk-pikuk lalu lintas dengan
kedua telinganya. Dengan maksud ingin menyelidik dimana Aksal –anak
laki-lakinya sekaligus penuntunnya– berada. Namun, ia langsung paham bahwa Aksal
memang sengaja meninggalkan dirinya di tempat yang terik itu. Tega memanggang
ayahnya di atas aspal demi segelas es teh manis. Tapi coba lihat anak laki-laki
berusia 18 tahunan bernama Aksal itu, dengan pakaian lusuh compang-camping,
sandal jepit tipis yang ujung belakangnya bolong, rambut macam sarang burung,
wajahnya kusam hitam-hitam pula. Sangat tidak modis, tidak seperti anak laki-laki
18 tahun lainnya. Bahkan sekolahnya berantakan. Anak laki-laki yang punya
seribu mimpi itu seringkali harus merelakan mata pelajaran yang berharga, demi
menuntun ayahnya bekerja –mengemis–.
Wakiman mencoba bertahan. Meski
kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Wakiman tak ingin memanggil
Aksal. Di telannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk
ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk meredam panas yang menjerang. Matahari pukul
satu siang benar-benar tak ingin mengasihani pengemis tua itu, tak mau berkedip
barang sedetik saja. Tapi, siapapun
takkan tahan dengan terik matahari, pukul satu siang pula. Karenanya, Wakiman
menyerah. Ia berusaha bangkit dengan tubuh goyang serta kepala penuh
kunang-kunang, mencari tempat yang dirasanya teduh sebelum ia mati kering macam
dendeng. Namun, baru beberapa kali melangkah, Wakiman menabrak sepeda yang
diparkir melintang. Sepeda itu ambruk dan tubuh Wakiman serta-merta
menindihnya. Bunyi berderak disambut sorak-sorai dari seberang jalan pun
terdengar.
“Astaga Sal, ayahmu, Sal, ayahmu!!!”
Dari seberang sana, penjual es teh
manis sekaligus kawan Wakiman –Rusman, yang sedang melayani pesanan Aksal,
terkejut bukan main melihat kawannya terjatuh. Ia menarik-narik kaos Aksal yang
kebesaran, sambil terus komat-kamit mengucap asma Allah tanpa henti. Ini
pertama kalinya ia melihat Wakiman tersungkur di keramaian seperti saat ini,
karenanya ia amat khawatir.
“Apa yang kau pikirkan Kang? Ini
jalan ramai”
“Panas, Kang” Wakiman lirih
“Kenapa tidak kau panggil namaku atau
Aksal?”
“Dimana Aksal, Kang?”
Sebenarnya Wakiman tahu, anaknya,
Aksal sudah berada di depannya. Ini soal firasat seorang ayah kepada anaknya.
Namun, entah mengapa Aksal malah meremas pakaian lusuh miliik Rusman itu dengan
maksud agar Rusman tutup mulut, merahasiakan keberadaan Aksal. Ditatapnya wajah
Wakiman dengan perasaan prihatin. “Aksal pulang Kang, katanya sedang ada urusan
penting” jelas Rusman tanpa gagap. Wakiman tersenyum, Rusman merasa lega, Aksal
perlahan melepas remasan tangannya dan ikut tersenyum sambil mengusap wajahnya
yang basah.
***
Saat perjalanan menuju rumahnya,
Wakiman yang dituntun oleh Rusman itu bercerita tentang setumpuk perasaan
bersalah dalam dadanya, mengingat betapa pendidikan Aksal berantakan karena dirinya.
Ingin sekali ia bekerja bukan mengemis, namun apalah pekerjaan yang cocok untuk
orang buta miskin sepertinya, selain mengemis. Adapun uang yang didapat
Ratminah –istrinya– hasil buruh cucipun hanya cukup untuk makan saban hari.
Bilapun sisanya bisa ia tabung, butuh waktu lama untuk menyekolahkan Aksal dan
dua adiknya yang juga butuh pendidikan.
“Man, pernahkah kau dengar anakmu
minta sesuatu padamu?”
Rusman berfikir. “Pernah Kang,
keempat-empatnya”
“Barang mahal, Man?”
“Bukan Kang”
Wakiman keheranan. “Lalu?”
“Keempat-empatnya tak langsung
mengatakan mereka ingin sesuatu padaku, Kang. Namun, lewat pengakuan
mimpi-mimpi mereka, aku paham mereka minta sesuatu yang berhubungan dengan
mimpi-mimpinya itu”
“Contohnya, Man?”
“Misalnya seperti anak pertamaku, Bintang
yang bermimpi ingin menjadi seniman, maka itu sama saja ia minta dibelikan buku
gambar atau sejenisnya atau bisa juga ia minta disekolahkan di sekolah seni”
Wakiman menerka, pernahkah Aksal dan
dua adiknya itu mengatakan sesuatu yang serupa dengan apa yang dikatakan
Rusman. Sudah ia coba ingat-ingat, namun tak pernah ada percakapan macam Rusman
dan anak-anaknya dalam keluarga Wakiman. Perasaan bersalah kepada anak-anaknya
membuat ia terlalu takut untuk bicara pada ketiga anaknya. Akibatnya, impian anak
sendiri saja tak pernah tahu. Betapa buruknya ia sebagai ayah.
“Kau sungguh beruntung Man, aku tak
pernah tahu impian anak-anakku. Apakah masih berhak Aksal, dan dua adiknya
memanggilku ayah, Man?”
“Jangan kau tunggu mereka
memberitahumu Kang, cobalah untuk bertanya, jangan terus menerus membiarkan
rasa bersalahmu menetap dan tumbuh, tidak baik Kang”
Sungguh,memang benar, penyesalan yang
sudah hidup terlalu lama di dalam diri begitu sulit dihilangkan. Tidak sedikit
waktu yang Wakiman gunakan untuk sekadar meladeni penyesalannya. Apalagi dia
buta, tak banyak yang bisa ia lakukan selain duduk bersender di head board atau di tengah sofa atau
sekedar menyender di tembok. Tentu saja itu waktu sekaligus tempat ternyaman
untuk menyesal-ria. Jika saja delapan belas tahun yang lalu tidak terjadi suatu
peristiwa, ia takkan kehilangan rumah, ia takkan di PHK. Jika saja saat
pemberontakan, ia tidak sembunyi di tempat yang dekat dengan kaca, jika saja
Aksal yang masih berusia tiga bulan itu tidak menangis, para pemberontak takkan
memecahkan kacanya, maka mata Wakiman takkan buta akibat serpihan kaca
tersebut. Jika saja hutang-hutangnya lunas sebelum peristiwa itu terjadi,
sebelum ia di PHK, mungkin tabungannya akan cukup untuk menghidupi Aksal
selayak-layaknya anak usianya. Dan jika saja ia tidak buta, mungkin kehidupan
keluarganya takkan jadi seperti ini, mungkin ia bisa bekerja dengan baik, bisa
menyekolahkan anak-anaknya serta membuat istrinya gemuk.
Wakiman terus bercerita, mengeluarkan
segala penyesalan yang delapan belas tahun dipendamnya sendiri itu kepada
Rusman dalam perjalan menuju rumahnya. Tapi bukan hanya penyesalan, Wakiman
juga menceritakan perjuangannya membesarkan anak-anaknya hingga sekarang
ditengah kemelaratannya. Suaranya semakin parau, dari bawah kaca mata hitamnya
tiba-tiba meluncur sebutir,duabutir air lalu kian lama kian deras butir air itu
meluncur. Dan, tanpa Wakiman sadari, Aksal yang sedari tadi membuntutinya pun
masih sibuk menyeka wajahnya yang makin basah.
***
Dan, disinilah ia dengan pakaian
hijau berbintik, baret nila, sepatu boots hitam, dan satu lencana tergantung di
saku kanan bajunya, juga pistol yang disimpan rapih di pinggang belakangnya.
Aksal, telah berdiri tegak diantara pasukan Korps Marinir Angkatan Laut. Dengan
kebulatan tekad demi kebanggaan ayah dan ibunya, juga kedua adiknya, ia telah
berhasil. Laki-laki penuntun pengemis tua buta tiga belas tahun yang lalu, kini
menjadi Sersan Mayor dalam satuan Korps Marinir TNI AU Republik Indonesia.
Setelah hari dimana Wakiman menceritakan
segala penyesalannya kepada Rusman, dan tanpa disadarinya Aksal berada di
belakangnya, hubungan Wakiman dan Aksal juga dua adiknya semakin membaik.
Bahkan, Aksal meminta ayahnya untuk mengalihkan segala tanggung jawab Wakiman
sebagai pencari nafkah itu pada dirinya. Maka dialah yang bekerja dan
mendapatkan uang yang lumayan cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun, karena
uang hasil buruh cuci yang didapat Ratminah dirasa sudah sangat cukup untuk
makan sehari-hari keluarga mereka, maka uang yang diperoleh Aksal hasil
keringatnya sendiri itu Wakiman suruh untuk ditabungnya sendiri untuk
masadepannya sendiri pula. Dan ajaib, tabungannya benar-benar membawa namanya
menjadi besar, lalu gaji pertamanya ia gunakan untuk operasi mata ayahnya.
Sungguh sangat mulia hati anak laki-laki mantan penuntun pengemis buta itu.
Kini, ia telah duduk di kursi
Mayornya, menggeggam selembar surat berwarna coklat dengan tinta hitam, surat
yang sama yang selalu datang padanya setiap satu bulan sekali, atau dua minggu
sekali. Surat yang ia genggam adalah surat dua bulan yang lalu, yang didalam
terdapat pinta dari seorang perindu tua, ia meminta Aksal pulang. Namun, inilah
nestapanya menjadi pasukan TNI, bagaimanapun ia takkan pernah bisa pulang
dengan mudah macam anak sekola ijin ke toilet. Aksal tidak bisa memenuhi pinta
perindu tua itu, ia hanya membalasnya dengan surat lagi, seperti biasa. Namun,
sampai sekarang tak ada balasan. Seminggu yang lalu ia baru saja mengirimi
surat balasan yang ke Sembilan, namun tetap, tidak pernah dijawab lagi.
Pikirannya menerawang macam-macam; Apakah ayah semakin tua sehingga tidak kuat
menulis lagi? Apakah suratku kesembilan-sembilannya tidak sampai padanya?
Apakah ayah sengaja tidak membalasnya dan akan tiba-tiba datang menengokku? Apakah
ayah marah karena aku tidak bisa pulang? Apakah ayah sakit? Apakah ayah….
Semua jawabannya ada di dalam surat
ke-tiga puluh tiga yang baru saja diberikan bawahannya. Ia senang bukan main
mendapat balasan surat lagi dari perindu tua yang adalah ayahnya itu. Namun,
senyumnya kian lama kian redup. Tubuhnya ambruk. Tatapan matanya kosong
melompong. Nafasnya tak karuan. Ia nampak seperti orang sakit jiwa kumat.
Untuk anakku, Aksal
Kemarin, adik-adikmu memberiku Jas hitam gagah beserta kemeja dan dasinya,
Namun Ayah sudah terlalu tua Sal, takkan pantas mengenakannya.
Maka kuberikan Jas hitam itu padamu.
Kau akan semakin tampan menggunakannya.
Tak usah pulang tak apa Sal, jaga kesehatanmu.
Selamat Ulang Tahun.
Kemarin, adik-adikmu memberiku Jas hitam gagah beserta kemeja dan dasinya,
Namun Ayah sudah terlalu tua Sal, takkan pantas mengenakannya.
Maka kuberikan Jas hitam itu padamu.
Kau akan semakin tampan menggunakannya.
Tak usah pulang tak apa Sal, jaga kesehatanmu.
Selamat Ulang Tahun.
Salam RIndu,
Dari Veteran Tua
Dari Veteran Tua
Bukan surat itu yang membuatnya macam
orang sakit jiwa kumat. Tapi surat berwarna hitam dengan tinta putih, yang
tertanda dibawah suratnya dari Rusman. Di dalamnya dikatakan bahwa surat yang
di bacanya sebelum membaca surat ini adalah surat terakhir yang ditulis ayahnya
beberapa menit sebelum nyawanya terenggut. Rusman menceritakan bahwa sudah lama
Wakiman sakit-sakitan. Dan, yang membuat dadanya kian ngilu adalah; Ayahmu menyuruh kau pulang mungkin ingin pamit
denganmu Sal.
Aksal membaca kalimat itu berulang
kali, lalu airmatanya berjatuhan semakin deras. Semua sudah terlambat, salam
rindu terakhir dari veteran tua itu sudah dikumandangkan. Tidak bisa diganggu
gugat, bagaimanapun ia harus menerimanya –salam rindu– itu sebagai salam
perpisahan. Sungguh, sudah waktunya bagi veteran tua untuk tertidur tenang.
Komentar
Posting Komentar