Suara dari yang ketiga: ku tunggu kau putus



Di balik jendela tenda tak berkaca, aku masih setia menunggu fajar muncul sambil menyesap kopi yang menghangatkan untuk pagi-pagi dingin. Udara pagi yang masih buta ditambah aku yang habis tergores luka, cukup membuat angin dingin –yang katanya segar– terasa sangat menyayat dada. Sambil menatap lurus jendela tenda biru-mu yang ada di seberang sana, aku baru ingat kalau ternyata sudah dua minggu kita tak pernah bersua, baik sengaja pun tidak sengaja. Kamu sudah sibuk dengan urusanmu –aku pun sibuk dengan urusanku. Tapi, beruntungnya, aku dan kamu masih bersama dikegiatan yang sama. Jadi, lagi-lagi, yang mempertemukan kita selalu kegiatan macam belajar matematika, latihan musik, dan pramuka. Bukan alasan sederhana yang sedang menyeruak dada, seperti rindu.

Aku keluar tenda, hendak duduk manis di tengah pintu tenda  dengan segelas kopi ditangan juga balutan jaket tebal. Dan, tepat di sudut mataku, warna mencolok biru cerah seperti merengek minta dilihat, menginterupsi ingin dudukku. Lantas mataku langsung menujukan pandangku pada tenda biru yang di pintu tendanya terdapat anak adam dengan wajah habis bangun tidur yang berbalut sarung macam habis ronda, sedang melambaikan tangannya ke arahku sambil mencoba tersenyum dengan mata sipit yang terlihat segaris. Jika tebakanku benar, pemilik tenda biru itu, hendak menunggu fajar juga. Lantas pemilik tenda yang adalah kamu, yang sudah terlanjur melihatku itu berjalan kearahku. Dengan wajah masih mengantuk dan mata yang baru terbuka dua inci itu, datang-datang langsung menggamit gelas  berisi kopi   ditanganku dan menyesapnya tanpa dosa.

Aku diam –kamu diam, hening melanda. Selain udara pagi buta yang dingin, hangat kopi yang mulai hilang, sikapmu pun ikut-ikutan berubah mendingin. Aku menghela nafas sambil menatap langit yang mulai berubah warna. Tak peduli biarpun kamu akan tetap bungkam sampai mentarinya naik atau sampai kakak bantara menyalakan sirine tanda berkumpul, aku juga akan diam.  Bukan apa-apa, suasananya sudah terlanjur canggung untuk aku yang terlalu takut mengawali. Lagipula, sebagai yang dinomor duakan, aku memang harus diam saja kan agar tak mendapat lebel perusak hubunganmu dengan wanita nomor satumu? Meski, kamu bilang wanitamu akan mengerti, takkan marah karna katanya dia tak mau mengekangmu. Tapi, wanita tetap wanita, seberapapun ia sabar dan pengertian, akan tetap merasa sesak melihat pria yang dicintanya tertawa dengan wanita lain meski hubungannya dibatasi ‘sekadar’.

Aku tak paham apakah cinta hanyalah ruang untuk dua orang atau bisa juga untuk tiga orang. Aku ini wanita yang baru saja mengenal cinta, dan, aku telah salah menjatuhkan hati. Salahnya, aku tak pernah bisa menahan diri untuk tidak menyukaimu. Dan, akibat besarnya, rasa itu semakin berkembang hingga mencapai taraf rawan yang amat beresiko untuk hatiku yang baru  pulih dari luka lama. Tapi, apakah manusia bisa menduga dengan siapa ia akan jatuh cinta? Omong kosong jika orang ketiga adalah sumber dari segala pertengkaran antara dua orang yang saling mencintai. Karena aku, sebagai orang ketiga, tidak pernah memaksa kamu untuk bersamaku saja meninggalkan dia atau membuat hubunganmu dengan dia berakhir tragis, kan?

Dengar mas, yang paling mencintaimu adalah dia yang membiarkanmu terbang kemanapun kamu ingin dan dengan sabar menunggu kamu pulang, yang bersedia terluka, yang bersedia patah demi bahagiamu. Jadi, aku juga akan menunggu kamu pulang saja; menunggu kamu kehilangan dia, menunggu kamu berhenti mencintainya, menunggu kamu menelfonku dan merengek ‘aku putus’. Dan, seperti yang kamu tahu, aku selalu dengan mudahnya memelukmu tanpa menuntut banyak hal, tanpa meminta embel-embel status ataupun kejelasan, tanpa mempermasalahkan status hubungan kita. Mungkin itu karena aku terlalu mencintaimu, hingga aku lupa, saat aku memelukmu, saat aku tertawa bersamamu, saat kamu mengatakan kamu mencintaiku, saat mendengar suara baritonmu diujung telfon, saat kamu mengucapkan selamat tidur, saat matamu menatap mataku dan saat kamu menggenggam tanganku; sebenarnya, aku terluka parah.

Fajar sudah muncul, langit semakin berubah warna. Kamu yang sedari tadi terus diam, mulai bercerita tentang segalanya. Tentang kebahagiaanmu bersamaku, tentang cerita kita, tentang mimpi-mimpimu yang telah kamu rencanakan bersamaku –kelak saat kamu dengan kekasihmu selesai, dan tentang akhir cerita cinta kita yang sudah sama-sama kita tahu, tidak akan berakhir bahagia. Kemudian kamu mengatakan segala syukurmu karena telah mengenalku dan dicintai oleh aku yang dengan sabar menghadapi kamu yang tidak bisa meninggalkan kekasihmu tapi membisikkan cinta di telingaku. Aku pun bersyukur telah dicintai kamu yang kenyataannya sedang dalam pelukan kekasihmu. Dicintai kamu yang seharusnya tidak punya waktu untuk tahu banyak tentang wanita lain apalagi sampai mencintainya. Selain hubunganmu yang sudah terjalin dua tahun itu, kekasihmu juga akan terluka jika tahu dalam huubungannya bersamamu, sebenarnya berada dalam zona yang menghawatirkan.

Kakak bantara menyalakan sirinenya, tanda kita harus segera berbaris dilapangan. Kamu pamit lantas berlari menghadiahkan objek indah dibawah fajar yang baru naik sepertiga dari utuhnya; punggung bidang yang mencemaskan dada. Dalam hubungan tak masuk akal antara aku, kamu dan dia, yang aku takutkan bukan lagi menjadi perusak hubunganmu, bukan takut kekasihmu membenciku, atau takut menjadi bulan-bulanan manusia penggibah, tapi; takut kamu semakin mencintainya, semakin tidak bisa melepaskannya, dan pada akhirnya jalan satu-satunya adalah hanya kamu mengorbankan aku dan pergi, menghadiahkan punggung bidangmu yang perlahan menghilang ditelan cakrawala. Pilihannya hanya dicintai atau ditinggalkan.

Sudah ratusan kali aku mencoba untuk menghilangkan saja perasaan yang tumbuh tanpa permisi ini. Dan, ratusan kali juga aku gagal. Perasaan tetap perasaan, tetap tak pernah bisa dengan mudah dikendalikan. Akibatnya, luka yang berangsur membaik pada akhirnya semakin melebar, ketika aku semakin berusaha melupakanmu, namun kamu selalu ada di tempat yang secara sukarela aku sediakan. Meski kesukarelaanku menyiadakan hatiku sebagai tempatmu –hati yang utuh– itu pada akhirnya adalah untuk kamu patahkan berkali-berkali. Dan ketika aku semakin jatuh cinta padamu, namun aku semakin sadar bahwa kamu tidak akan mungkin aku miliki. Kamu mempunyai kekasih, kamu sedang dalam pelukannya, kamu mencintainya, kamu tidak bisa melepaskannya; tapi, kamu juga sangat mencintaiku dan tidak bisa meninggalkanku.

Aku sudah kehabisan akal untuk memikirkan apa sebenarnya status kita. Kamu selalu memintaku untuk menyembunyikan segalanya. Kamu ingin aku tidak terlihat seperti mencintaimu atau seperti tidak mengenalmu. Kamu mengaturku semaumu. Mas, bukan berarti kamu tahu aku begitu mencintaimu, lalu kamu menginjak-nginjak perasaanku seakan paham bahwa posisiku ini tidak mampu melawan. Ingin rasanya aku menatapmu dengan sisa-sisa airmata yang membendung, agar kamu berhenti bersikap seenaknya, agar kamu berhenti menyakitiku, agar kamu sadar betapa terlukanya berada diposisiku.

Aku berdiri dibarisan terdepan, masih berdiri santai sambil bercuap-cuap dengan teman satu geng-ku. Kemudian asupan pagiku untuk mengawali aktivitas, hadir, menginterupsi kegiatan cuap-cuapku. Melihat kamu berjalan kearahku dengan seulas senyum yang membuat wajah chinese-mu begitu kentara dengan mata sipit yang selalu membuat hatiku mencelos sempurna. Dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya, mata yang lebih tajam dari sebelumnya, juga rambut yang lebih maskulin dari sebelumnya. Kamu dengan pakaian coklat beserta kacu dan baret juga sepatu hitam gagah, semakin berjalan mendekatiku. Semakin dekat semakin membuatku sadar, kamu bukan milikku. Yang kamu tuju ternyata bukan aku, tapi, seorang wanita yang secara nyata ada dalam hidupmu, yang secara terang-terangan kamu cintai. Aku lupa, aku hanya seorang wanita dalam bayanganmu, aku hanya seorang wanita yang kamu sembunyikan dari semesta, yang kamu cintai diam-diam, yang seolah tak ada satu orangpun tau keberadaanku kecuali kamu. Atau, saat dalam keadaan seperti ini, saat aku-kamu-kekasihmu ada dalam satu tempat; aku mendadak tak terlihat oleh siapapun, tak terkecuali kamu. Seolah aku adalah arwah gentayangan yang sama sekali tak terlihat olehmu. Memang sih, namanya juga orang ketiga, orang yang lagi berduaan aja orang ketiganya hantu, berarti orang ketiga ya nggak jauh-jauh dari sejenis hantu.

Jadi, yang membuatku sedih bukan karena aku selalu menjadi prioritas kedua, tapi mengapa aku tidak mendapat kesempatan untuk berjuang merebut posisi pertama? Yang membuatku terluka bukan karena wanitamu yang lebih dulu memilikimu, tapi kamu tidak pernah mengaku pada siapapun bahwa aku hadir dalam hidupmu. Setelah segala perhatian dan buaian cinta yang kamu bisikan padaku kemarin atau bahkan beberapa menit yang lalu, kemudian dengan mudahnya, dihadapan kekasihmu kamu seolah tak pernah mengenalku. Lantas bisikan cintamu, genggaman erat tanganmu, gelenyar hangat tatapanmu, rengkuhan pelukanmu, caramu menahanku untuk jangan pergi, caramu menguatkanku untuk tetap bersabar, caramu membuatku lupa bahwa aku adalah orang ketiga, dan segala yang telah kamu berikan dalam hidupku apakah masih benar dikatakan cinta, jika setelahnya menghadirkan luka?

Beri aku cinta yang benar, jika kamu lebih mencintai aku daripada kekasihmu. Jadikan aku wanita yang nyata, jika kamu mengaharapkan aku hadir dalam hidupmu. Tapi, beri aku kesempatan untuk berpindah, jika kamu tidak mengharapkan aku hadir dalam hidupmu. Dan jangan minta aku tetap tinggal, jika akhirnya justru kamu yang meninggalkanku.

Bertahan atau tidaknya aku, tergantung padamu. Jika kamu meminta, akan kutunggu kau putus meski itu berarti aku akan terluka. Namun, jika kamu tidak lagi mengharapkanku ada dalam hidupmu, aku akan berhenti menjadi yang ketiga sebelum kamu yang memintaku berhenti.


#KutungguKauPutus
Cirebon

Komentar

Postingan Populer